Tragedi Al-Khoziny: di Balik Reruntuhan, Panggilan Lembut untuk Keadilan

9 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Polisi mengusung peti jenazah untuk korban runtuhnya bangunan musala Pondok Pesantren Al Khoziny, di Rumah Sakit Bhayangkara H.S. Samsoeri Mertojoso, Surabaya, Jawa Timur, 7 Oktober 2025. Antara/Didik Suhartono
Iklan

Jika standar terbaik diterapkan, bencana takkan ini terjadi, ini bukan sekedar nasib.

***

Tragedi mengerikan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo pada 29 September 2025, bukanlah sekadar kisah kesalahan struktural semata. Ia menjadi cermin pilu dari ketidakmerataan akses pendidikan yang aman dan berkualitas. (bbc.com/4/10/2025). Tragedi itu bermula saat musala ambruk sedang ratusan santri sedang melaksanakan salat Ashar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak dipungkiri peristiwa ini juga tak lepas dari kelalaian manusia, dugaan kuat hingga peristiwa mematikan ini terjadi karena konstruksi yang tidak kokoh serta lemahnya pengawasan. Pembagunan ponpes berasal dari wali santri dan donatur yang terbatas, tanpa dukungan struktural memadai dari negara.

Sebuah realitas pahit yang memaksa pembangunan berlangsung secara sawadaya, tambal sulam, dan penuh kompromi berbahaya. Material murahan yang tak memenuhi standar layak, pengawasan nol hingga terhasil bangunan yang rentan ambruk. Ajal ditentukan Allah SWT, namun ikhtiar manusia yang didukung negara tak bisa dibaikan. 

Lebih dalam lagi, tragedi ini mengungkapkan kegagalan sistemik dalam tata kelola pendidikan saat ini. Tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan sarana pendidikan yang aman, nyaman dan berkualitas sering kali terabaikan, teruatama bagi lembaga swasta seperti pesantren yang tak kalah vital dengan sekolah negeri. Tanggung jawab ini tidak boleh dilempar ke pundak masyarakat ataupun pihak swasta. Keterbatasan anggaran tidak boleh jadi dalih, pendidikan adalah pondasi dasar bagi pembangunan sebuah negara. 

Pelaksanaan sistem kehidupan yang diterapkan, terkadang memaksa hadirnya individu-individu yang tidak bertanggung jawab, dan menjadikan negara tidak mengambil seutuhnya peran dalam pengurusan hajat umat. Sistem sekularisme kapitalisme, yakni pengaturan yang memisahkan nila-nilai agama dari kehidupan dan berlandasakan pada materi. Negara dengan aspek ri’ayah (pengurusan kehidupan masyarakat) sulit ditemukan, yang hadir tersering ialah negara sebagai regulator bukan pelayan rakyat. 

Dalam pandangan Islam, negara hadir menjadi penjaga setia yang wajib menyediakan fasilitas pendidikan dengan standar kemanan, kenyamanan, dan berkualitas. Perwujudan ini hadir didasari tanggung jawab kepada ilahi dalam mencerdaskan dan melindungi umat.

Pendidikan hadir tanpa memberatkan umat, diberikan secara gratis dibebankan kepada Baitul Mal. Sumber keuangan negara dalam Islam yakni dari kekayaan umum yakni tambang, hutan laut serta pos fai, kharaj, zakat. Tak ada diskriminasi antara sekolah negeri atau swasta. 

Prinsip ini bukan utopia, namun prinsip syariah yang menjadikan pendidikan hak dasar integral bagi kesejahteraan umat, seperti tergambar di masa Abbasiyah di mana madrasah Nizamiyah berdiri megah sebagai mercusuar ilmu. Dalam Nidzam Ak-Iqtishadi fi Al-Islam Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani menyebutkan bahwa” Negara wajib menjamin pendidikan sebagai bagian dari kebutuhan dasar umat, seperti pangan dan sandang, dengan dana dari Baitul Mal, sehingga ilmu menjadi cahaya bagi seluruh rakyat, bukan beban masyarakat.” Sistem ini bukan mimpi, melainkan kewajiban ilahi yang pernah menyulut kejayaan umat.

Di balik reruntuhan Al-Khoziny, mari kita dengar panggilan lembut itu: kembali pad aturan Allah, di mana pendidikan adalah cahaya yang merangkul semua, bukan jebakan mematikan. Jadikan tragedi ini titik balik bagi negara, ulama dam masyarakat untuk merangkul sistem Islam yang adil. Jangan biarkan ilmu redup ditangan kelalaian manusia. Dengan Islam lah keadilan sejati akan terbit kembali. Wallahu a’lam bishshawab

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler